BENDERA MERAH PUTIH BAHASAN DARI VERSI KALA CAKRA DAN PENGETAHUAN PARAHYANG
Metrojabaronline.com // Sumedang,- Bendera Merah Putih seperti sudah kehilangan marwahnya di saat sekarang. Pusaka bangsa yang konon katanya berarti “Berani dan Suci” adalah sebuah lambang dari perjuangan yang dahulu pernah mewarnai sejarah Bangsa dalam memperoleh kemerdekaan.
Sekarang, apakah makna keberanian dan kesucian ini masih ada?????
Melihat fenomena jaman sekarang, seolah semuanya bias. Hukum, kebijakan, putusan, ketetapan yang dikeluarkan oleh para pejabat seolah tidak lagi berpijak pada keadilan (walaupun tidak semua pejabat pemerintah seperti itu). Seolah MERAH dan PUTIH itu tidak lagi berada dalam jiwa nya, hanya sebatas simbol kenegaraan. Pada akhirnya berefek pada kehidupan masyarakat di bawahnya. Hanya karena kelaparan, beberapa anggota masyarakat memutuskan untuk mencuri, menipu, membunuh, dan berbagai lain tingkat kejahatan. Sementara para pejabat kekenyangan dan terlena dengan keadaan senangnya.
Tentu para pendiri bangsa ini dalam pembuatan serta penentuan warna bendera Merah Putih ini tidak hanya sekonyong-konyong atau dibuat seadanya. Kita yakin bahwa filosofi dibalik pembuatan dan penciptaanya syarat akan nilai-nilai, dan para pendiri bangsa ini pasti mempunyai rujukan atau referensi ketika menetukan warna bendera ini harus MERAH dan PUTIH. Tapi apakah hanya sesederhana makna Berani dan Suci?
Tidak banyak yang membahas, dari manakah para pendiri bangsa mengambil referensinya. Mari kita lihat dalam pengetahuan Kala Cakra Parahyang!!!
Dalam pengetahuan Kala Cakra Parahyang tergambarkan sebuah kompas yang dinamakan Kompas Kala Cakra. Pada kompas ini terdapat nama-nama arah yang masing-masing memiliki makna dan pembahasan mendalam, mempunyai karakter warna sendiri, dan tidak hanya menunjukan arah saja. Masing-masing nama arahnya bisa dilihat pada pada gambar kompasnya.
Kita fokus pada istilah nama arah timur dan barat. Timur itu Purwa atau Purba, dan Barat itu adalah Jati. Purwa dan Jati ini memiliki warna Merah dan Putih dan menunjukan garis perjalanan matahari dari timur ke barat.
"Iser jeung tanggerna sarangenge nu ngahadukeun obahna kalang kujur ti Purwa ka Jati"
Kalang = garis
Kujur = gurat nu ngembat ti puseuran Sandikala (kutub utara) ka puseuran Sunda (kutub selatan)
Purwa ka Jati = Wetan ka Kulon
“Gerak geser dan posisi lintasan matahari yang menjadikan berubahnya garis lintang Bumi dari Purwa ke Jati”.
Kalang = garis
Kujur = gurat bumi dari wilayah sandikala (kutub utara) ke wilayah Sunda (kutub selatan)
Purwa ke Jati = Timur ke Barat.
Dari penjelasan ini, sangat memungkinkan bahwa penentuan bendera MERAH PUTIH ini memiliki dasar penentuan yang kuat, dan mungkin salah satu referensinya didasarkan pada pengetahuan parahyang ini. Selain pemaknaan pada warna bendera merah putih, pengetahuan parahyang ini juga mewarnai terbentuknya sistem ketatanegaraan awal.
“Nu TILU SAPAMULU nyaéta Resi - Rama - Ratu, sing sarwa papak teu ruhur teu handap, Samya Agung dina tatapakanna, tunggal dina adegan nu disebut NA-GA-RA”.
Yang TILU SAPAMULU yaitu Resi-Rama-Ratu, yang sama-sama sejajar tidak ada yang tinggi dan tidak ada yang rendah, semua mulia di tempatnya masing-masing, satu kesatuan dalam tatanan yang disebut Na-Ga-Ra (negara).
Tilu = tiga, Tilu Sapamulu artinya tiga ketentuan Tata di Buana atau di dunia bagi manusia. Tiga ketentuan ini berdasarkan pada karakteristik algoritma yang menjadi dasar penentuan perjalanan semenjak manusia dilahirkan.
Istilah kata negara atau dalam bahasa Sunda diistilahkan dengan Nagara, merupakan rangkaian tiga kata yang di ambil Angkasadriya yaitu angka 3 (Na), angka 9 (Ga), dan angka 4 (Ra). Begitu juga istilah Ragana juga disusun dari tiga angka ini. Na-Ga-Ra dan Ra-Ga-Na, rangkaian dari tiga angka ini akan membentuk makna tertentu ketika membahas sebuah struktur, dalam hal ini sebuah ruang lingkup pemerintahan beserta rakyatnya. Pada ruang lingkup Nagara, komponen yang harus ada adalah Tilu Sapamulu yaitu Ka-Resian, Ka-Ramaan, dan Ka-Ratuan. Komponen inilah yang disebut dengan Ragana, raga berarti badan yang berwujud, dan wujud adalah bentuk. Resi-Rama-Ratu merupakan wujud pembentuk pemerintahan yang dalam bahasa sekarang diistilahkan lembaga Legislatif, Yudikatif, dan Eksekutif. Namun untuk membahas Resi-Rama-Ratu tidak hanya sekedar membicarakan wujud fisik saja, penentuan komponen dan sistem yang digunakan akan disempurnakan melalui sisi bhatiniyah. Inilah konsep pemerintahan dalam ajaran lama (Ajaran Ka-Sundaan) demi mencapai keselarasan dan kemakmuran serta keseimbangan. Sebagai perbandingan untuk di masa sekarang, karena penentuan Raga (keluarga) dari Nagara (Komponen dari suatu pemerintahan) sudah tidak lagi mengacu pada tatanan lama (berdasarkan keterangan Uyut), dan meninggalkan sisi bhatiniyah, maka yang terjadi adalah kecarutmarutan. Inilah gambaran pemerintahan sekarang yang sudah tidak lagi berakar pada sejarah, dan hanya menikmati hasil sejarah.
Dalam istilah Sunda, konsep acuan keterangan Uyut ini disebut dengan Purba Tisti dan Purba Jati.
“Basa ngaing kungsi nanyakeun ka Kolot, naon anu disebut PURBA TISTI ~ PURBA JATI SUNDA téh?”
“Purba Tisti téh Aturan, ari Purba Jati mah Palasipah. Euweuh barangna mah, da lain tutulisan dina kulit dina tulang, sok komo dina daluang. Tapi sakulit sadaging dina cara jeung ciri hirup manusa Sunda bihari. Kuari mah ngan ukur nyésa raratna dina titilar Adat Budaya bari mukana ogé kuduk ngagunakeun SAPTA PANTA”
“Ketika saya bertanya pada orangtua, apa yang dimaksud dengan Purba Tisti ~ Purba Jati Sunda itu?”
Purba Tisti adalah aturan, sementara Purba Jati adalah falsafah kehidupan. Tidak ada barangnya, karena bukan seperti tulisan pada kulit atau tulang, apalagi pada kertas. Akan tetapi sudah mendarahdaging menyatu dalam cara dan ciri hidup orang Sunda di masa kini. Sekarang hanya tersisa peninggalannya pada adat dan budaya, yang cara membukanya juga harus menggunakan SAPTA PANTA.”
Purba Tisti dan Purba Jati adalah ajaran awal tentang aturan dan falsafah hidup. Ajaran adalah sebuah pengetahuan yang didalamnya mengandung aturan serta falsafah. Aturan dibangun untuk mengatur sesuatu agar lebih tertata dengan tujuan kebaikan, maka pengetahuan tentang aturan akan menjadi penting. Aturan bukan hanya sebatas pembahasan tentang anjuran atau larangan, atau juga bukan hanya sebatas membahas hak dan kewajiban. Maka, sebuah aturan harus memberikan sebuah nilai. Ketika nilai ini muncul, maka aturan akan menjadi norma. Dan norma, ketika disepakati akan menjadi kaidah. Selama kaidah ini dipakai, maka terbentuklah sebuah falsafah, dan hasilnya adalah tatanan keseimbangan.
Purba Tisti adalah aturan umum, Purba Jati adalah aturan khusus, atau istilah lain bisa di gambarkan sebagai Ciri Sa-Bumi Cara Sa-Desa.
Purba = Purwa
Purba Jati = Purwa Jati
Dari penjelasan di atas, kita bisa memaknai bahwa gambaran carut marutnya pemerintahan dan berefek pada kehidupan sosial masyarakatnya karena tidak mengenal lagi Purba Tisti dan Purba Jati nya. Sesuai judul tentang bendera Merah Putih, kita bisa mengambil kesimpulan sederhana ketika arti Merah dan Putih ini adalah Purwa Jati atau Purba Jati sebagai sebuah aturan khusus nilai budaya bangsa yang sekarang sudah tidak dikenali, baik oleh pemerintah maupun masyarakatnya secara umum.
#Tulisan ini hanya sebuah analisis sederhana dan bukan untuk dijadikan sebuah referensi, hanya analisis sederhana dan memerlukan pengkajian yang lebih mendalam.
Dr. Rony_Hidayat_Sutisna, S.Sn., M.Pd.
Komentar
Posting Komentar